Blogger Tricks

Rabu, 01 Agustus 2012

Potensi Riset Nano Kimia Bahan Alam di Indonesia

Sumber daya alam hayati Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk dimanfaatkan. Keanekaragamn hayati Indonesia sudah diakui oleh dunia internasional, bahkan kekayaan tumbuhan Indonesia berada pada urutan kedua setalah Brazil. Indonesia juga memiliki kekhasan alam tropis dan sebaran gunung berapi yang merupakan penyedia iklim dan mineral penyubur tanah yang ideal untuk tumbuhnya berbagai jenis tanaman. Sebuah artikel yang ditulis oleh Jefrey dan dikutip oleh Sinly Evan Putra menyebutkan bahwa berbagai jenis tumbuhan yang hidup di Indonesia diperkirakan mencapai 25.000 jenis atau lebih dari 10% dari total flora dunia. Ditambah dengan berbagai jenis lumut dan ganggang yang berjumlah sekitar 35.000 jenis dimana 40% diantaranya merupakan jenis yang endemik (hanya terdapat di Indonesia).
Semua kekayaan hayati tersebut mengandung berbagai bahan kimia yang sangat berpotensi sebagai bahan baku industri, seperti bidang farmasi, pertanian, makanan, dan minuman. Potensi tersebut sudah banyak diteliti dan dimanfaatkan namun belum banyak dimodifikasi dengan teknologi nano. Padahal di negara-negara maju seperti Amerika dan Eropa teknologi nano sudah diaplikasikan pada berbagai bidang termasuk pada industri agrikultur, farmasi dan makanan. Dalam bidang kedokteran dan farmasi, teknologi nano juga sudah diaplikasikan untuk menghasilkan obat “cerdas” yang dapat mempercepat reaksi obat di dalam tubuh sehingga mampu terbawa aliran darah tanpa kehilangan material aktif selama penghantaran. Aplikasi nano teknologi dalam bidang kedokteran dan farmasi ini secara luas mulai dikembangkan terutama untuk obat kanker.
Trend dunia riset pada bidang green chemistry, green nanoteknologi atau seruan dunia back to nature menjadi pendukung utama untuk mengembangkan potensi riset kimia bahan alam ini. Manusia tentunya telah memiliki kesadaran yang cukup tinggi tentang bahaya bagi kesehatan dari penggunaan bahan-bahan kimia sintesis. Contoh sederhana dalam bidang pertanian, kesadaran untuk menggunakan pupuk organik para petani mulai tumbuh dibandingkan dengan penggunaan pupuk sintesis. Penggunaan plastik biopolimer saat ini sedang digalakkan sehingga diharapkan dapat menggantikan peranan plastik sintesis yang nonbiodegradable dan tidak ramah lingkungan. Begitupun dengan zat aditif, pewarna, bahkan material elektronika dan listrik sudah menggunakan campuran bahan alam. Sebagai contoh, solar sel dye organik dengan menggunakan pewarna alam untuk menyerap sinar matahari dan mengkonversinya menjadi energi listrik. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa ekstrak daun tembakau, kopi, teh, dan lidah buaya dapat digunakan sebagai inhibitor korosi untuk menurunkan laju korosi pada besi. Beberapa tanaman air seperti alga dapat digunakan sebagai biosorben dan bioindikator logam berat di perairan.
Pestisida organik yang terbuat dari ekstrak beberapa tanaman seperti rosemary thyme, cengkeh, lavender, kemangi, mint, dan beberapa ekstrak minyak tumbuhan sangat potensial sebagai bahan alami pembuatan pestisida untuk diaplikasikan pada bidang agrikultur. Bahan-bahan yang sebagian digunakan sebagai bumbu dapur tersebut sekarang menjadi kunci yang sangat ampuh dalam organik agrikultur melawan berbagai hama penyakit tanaman. Sebuah studi yang dipresentasikan oleh beberapa ilmuwan dalam pertemuan nasional American Chemical Society’s ke 238 di Kanada melaporakan bahwa zat yang disebut “essential oils pesticides” atau “killer spices” merupakan kandidat pestisida alami yang ramah lingkungan dan resiko yang sedikit terhadap kesehatan manusia dan hewan. Kelemahan pestisida ini adalah tidak tahan lama karena sifatnya yang volatil dan mudah terdegradasi oleh cahaya matahari. Oleh karena itu, menjadi tugas para peneliti untuk menemukan formulasi yang tepat sehingga pestisida yang dihasilkan lebih tahan lama dan tidak mudah rusak, salah satunya dengan modifikasi teknologi nano.
Dalam dunia farmasi, tak terhitung banyaknya ekstrak tanaman yang bisa dimanfaatkan sebagai bahan obat herbal baik yang diambil dari kayu, buah, daun, akar, maupun bunga. Salah satunya adalah kunyit. Indonesia memiliki variasi tumbuhan kunyit lebih banyak dan merupakan salah satu negara penghasil kunyit terbesar di dunia. Tim riset yang merupakan kolaborasi dari beberapa universitas dan lembaga riset di Korea Selatan telah membuktikan secara in vitro dengan analisis SPR (Surface Plasmon Resonance) maupun in vivo dengan analisis APN-specific antibody competition bahwa salah satu senyawa yang terkandung di dalam kunyit, yakni kurkumin memiliki potensi yang sangat besar sebagai obat kanker. Kurkumin adalah senyawa turunan fenolik dari hasil isolasi rimpang tanaman kunyit (Curcuma longa).
Senyawa fenolik dari kunyit juga memiliki potensi yang cukup besar untuk dijadikan salah satu bahan komposit biopolimer. Sentuhan teknologi nano pada komposit biopolimer akan menghasilkan material biopolimer baru yang memiliki ketahanan mekanik lebih baik, bahkan dapat dihasilkan komposit biopolimer yang memiliki konduktivitas listrik yang baik. Sebagai contoh, kombinasi bahan penyusun pelat bipolar fuel sel grafit berbasis senyawa fenolik dan campuran beberapa bahan lain mampu meningkatkan konduktivitas listrik dan sifat mekanik pada pelat bipolar. Menurut beberapa penelitian, kekuatan mekanik dan konduktivitas listrik pelat bipolar komposit polimer bertambah ketika ditambahkan nanomaterial seperti multi walled carbon nantubes. Disini terlihat bahwa modifikasi nano teknologi dapat meningkatkan mutu sebuah material.
Potensi-potensi di atas menjadi sangat penting untuk dikaji dalam road map riset nano teknologi di Indonesia karena SDA merupakan keunggulan utama yang tak tertandingi sebagai bahan baku utama pengembangan industri-industri di Indonesia. Berdasarkan fakta tersebut, sebagai negara yang kaya akan potensi biodiversity maka riset nano-kimia bahan alam dapat dijadikan sebagai ujung tombak riset kimia di Indonesia.

0 komentar:

Posting Komentar