Sumber
daya alam hayati Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk
dimanfaatkan. Keanekaragamn
hayati Indonesia sudah diakui oleh dunia internasional, bahkan kekayaan
tumbuhan Indonesia berada pada urutan kedua setalah Brazil. Indonesia juga memiliki kekhasan alam
tropis dan sebaran gunung berapi yang merupakan penyedia iklim dan mineral
penyubur tanah yang ideal untuk tumbuhnya berbagai jenis tanaman. Sebuah artikel yang ditulis
oleh Jefrey dan dikutip oleh Sinly Evan Putra
menyebutkan bahwa berbagai jenis tumbuhan yang hidup di Indonesia diperkirakan
mencapai 25.000 jenis atau lebih dari 10% dari total flora dunia. Ditambah
dengan berbagai jenis lumut dan ganggang yang berjumlah sekitar 35.000 jenis
dimana 40% diantaranya merupakan jenis yang endemik (hanya terdapat di
Indonesia).
Semua
kekayaan hayati tersebut mengandung berbagai bahan kimia yang sangat berpotensi
sebagai bahan baku industri, seperti bidang farmasi, pertanian, makanan, dan
minuman. Potensi tersebut sudah banyak diteliti dan dimanfaatkan namun belum banyak
dimodifikasi dengan
teknologi nano. Padahal di negara-negara
maju seperti Amerika dan Eropa teknologi nano sudah diaplikasikan pada berbagai
bidang termasuk pada industri
agrikultur, farmasi dan makanan. Dalam
bidang kedokteran dan farmasi, teknologi nano juga sudah diaplikasikan untuk
menghasilkan obat “cerdas” yang dapat mempercepat reaksi obat di dalam tubuh
sehingga mampu terbawa aliran darah tanpa kehilangan material aktif selama
penghantaran. Aplikasi nano teknologi dalam bidang kedokteran dan farmasi ini
secara luas mulai dikembangkan terutama untuk obat kanker.
Trend
dunia riset pada bidang green chemistry, green nanoteknologi atau seruan dunia back to nature menjadi pendukung utama
untuk mengembangkan potensi riset kimia bahan alam ini. Manusia tentunya telah
memiliki kesadaran yang cukup tinggi tentang bahaya bagi kesehatan dari
penggunaan bahan-bahan kimia sintesis. Contoh sederhana dalam bidang pertanian,
kesadaran untuk menggunakan pupuk organik para petani mulai tumbuh dibandingkan
dengan penggunaan pupuk sintesis. Penggunaan plastik biopolimer saat ini sedang
digalakkan sehingga diharapkan dapat menggantikan peranan plastik sintesis yang
nonbiodegradable dan tidak ramah lingkungan. Begitupun dengan zat aditif,
pewarna, bahkan material elektronika dan listrik sudah menggunakan campuran
bahan alam. Sebagai contoh, solar sel dye organik dengan menggunakan pewarna
alam untuk menyerap sinar matahari dan mengkonversinya menjadi energi listrik. Beberapa
penelitian menyebutkan bahwa ekstrak daun tembakau, kopi, teh, dan lidah buaya
dapat digunakan sebagai inhibitor korosi untuk menurunkan laju korosi pada
besi. Beberapa tanaman air seperti alga dapat digunakan sebagai biosorben dan
bioindikator logam berat di perairan.
Pestisida
organik yang terbuat dari ekstrak beberapa tanaman seperti rosemary thyme, cengkeh, lavender, kemangi, mint, dan beberapa ekstrak minyak tumbuhan sangat potensial sebagai
bahan alami pembuatan pestisida untuk diaplikasikan pada bidang agrikultur. Bahan-bahan
yang sebagian digunakan sebagai bumbu dapur tersebut sekarang menjadi kunci
yang sangat ampuh dalam organik agrikultur melawan berbagai hama penyakit
tanaman. Sebuah studi yang dipresentasikan oleh beberapa ilmuwan dalam
pertemuan nasional American Chemical Society’s ke 238 di Kanada melaporakan
bahwa zat yang disebut “essential oils
pesticides” atau “killer spices”
merupakan kandidat pestisida alami yang ramah lingkungan dan resiko yang
sedikit terhadap kesehatan manusia dan hewan. Kelemahan pestisida ini adalah
tidak tahan lama karena sifatnya yang volatil dan mudah terdegradasi oleh
cahaya matahari. Oleh karena itu, menjadi tugas para peneliti untuk menemukan
formulasi yang tepat sehingga pestisida yang dihasilkan lebih tahan lama dan
tidak mudah rusak, salah satunya dengan modifikasi teknologi nano.
Dalam
dunia farmasi, tak terhitung banyaknya ekstrak tanaman yang bisa dimanfaatkan
sebagai bahan obat herbal baik yang diambil dari kayu, buah, daun, akar, maupun
bunga. Salah satunya adalah kunyit. Indonesia memiliki variasi tumbuhan kunyit
lebih banyak dan merupakan salah satu negara penghasil kunyit terbesar di
dunia. Tim riset yang merupakan kolaborasi dari beberapa universitas dan
lembaga riset di Korea Selatan telah membuktikan secara in vitro dengan
analisis SPR (Surface Plasmon Resonance)
maupun in vivo dengan analisis APN-specific
antibody competition bahwa salah satu senyawa yang terkandung di dalam
kunyit, yakni kurkumin memiliki potensi yang sangat besar sebagai obat kanker. Kurkumin
adalah senyawa turunan fenolik dari hasil isolasi rimpang tanaman kunyit
(Curcuma longa).
Senyawa
fenolik dari kunyit juga memiliki potensi yang cukup besar untuk dijadikan
salah satu bahan komposit biopolimer. Sentuhan teknologi nano pada komposit biopolimer
akan menghasilkan material biopolimer baru yang memiliki ketahanan mekanik
lebih baik, bahkan dapat dihasilkan komposit biopolimer yang memiliki
konduktivitas listrik yang baik. Sebagai contoh, kombinasi bahan penyusun pelat
bipolar fuel sel grafit berbasis senyawa fenolik dan campuran beberapa bahan
lain mampu meningkatkan konduktivitas listrik dan sifat mekanik pada pelat bipolar.
Menurut beberapa penelitian, kekuatan mekanik dan konduktivitas listrik pelat
bipolar komposit polimer bertambah ketika ditambahkan nanomaterial seperti multi
walled carbon nantubes. Disini terlihat bahwa modifikasi nano teknologi dapat
meningkatkan mutu sebuah material.
Potensi-potensi
di atas menjadi sangat penting untuk dikaji dalam road map riset nano teknologi
di Indonesia karena SDA merupakan keunggulan utama yang tak tertandingi sebagai
bahan baku utama
pengembangan industri-industri
di Indonesia. Berdasarkan
fakta tersebut, sebagai negara
yang kaya akan potensi biodiversity maka riset nano-kimia bahan alam dapat
dijadikan sebagai ujung tombak riset kimia di Indonesia.